yaa habibi yaa Rasululloh

yaa habibi yaa Rasululloh

Sabtu, 29 Juni 2013

KEMBALI KE QURAN SUNAH , Rayun Maut Aliran Menyimpang

Kalimat paling ampuh utk mendapat simpati atau meyakinkan umat Islam adalah "kembali ke Quran Sunah" dan makin mantap bila ditambah sesuai pemahaman salaf...... ,kalimat itu benar adanya tapi salah penempatannya kalau quran  & sunah Nabi ditafsir sendiri oleh orang awam...
kasus sepeti sangat sering terjadi dan makin masif di kalangan umat islam seperti kasus 'ahmad mushadek, Lia aminudin dll' yg dengan kata-kata manis sesuai quran sunah menyesatkan umat.

Kelompok seperti ini selain menimbulkan polemik tentang definisi bid’ah dan pembagian tauhid, golongan mnyimpang memang dikenal dengan sifat plin-plan dan kontradiksinya. Ini karena mereka seringkali tidak konsisten dalam mengambil sumber hukum.
Salah satu contoh kelompok yang menamakan diri Salafy (wahabi) ,walaupun mereka selalu berkata bahwa mereka mengambil dan mengikuti pemahaman manhaj salaf dalam masalah Aqidah dan Syari’at. Karena pada faktanya ketika ada fatwa seorang sahabat yang berbeda dengan “pemaham akal” seorang ulama wahabi, maka mereka cenderung mengambil pendapatnya sendiri dengan ‘mencampakkan’ fatwa sahabat tersebut, seperti pada kasus Ibn Baz dibawah ini. (beberapa contoh kasus ini diambil dari beberapa dialog antar golongan wahabi yang berbantahan dengan sebuah partai politik yang berideologi Islam di Indonesia dan ini merupakan gambaran berikutnya bahwa wahabi tak pernah harmonis dengan siapa pun atau golongan apa pun bahkan dengan sekte-sekte salafy-nya sekalipun).

Seseorang pernah menyusun buku tentang memelihara janggut. Didalamnya dia menyebutkan pendapat Abu Hurairah, ibn Umar, maupun sahabat-sahabat lainnya tentang kebolehan memotong sebagian janggut jika panjangnya melebihi satu genggam. Maka Ibn Baz berkomentar : “Walaupun ini pendapat Abu Hurairah dan pendapat Ibn Umar, hanya saja yang didahulukan adalah firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW” !! (Majalah Hidayatullah edisi 03XVIIJuli 2004; hal. 40-41).

Jika seperti itu kenyatannya, lalu mana slogan memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salaf Ash-Sholeh (Sahabat, tabi’in dan Tabi’ut tabi’in) ?!
Golongan wahabi ini dengan berani mengklaim’ bahwa ‘pemahaman Ibn Baz, Utsaimin, Albani dkk lebih baik dari pendapat dan fatwa para sahabat yang mulia ini ! Dan menyatakan bahwa mereka (para ulama salafi palsu) lebih mengetahui hadis Rasul SAW dibandingkan para sahabat yang mulia ini, yang senantiasa menemani, melihat dan mendengar perkataan, perbuatan, serta taqrir Rasul SAW !! Lalu dengan beraninya, ia berkilah lagi bahwa hadis itu belum sampai kepada Sahabat tersebut. Tapi malah sudah sampai pada Albani, Utsaimin, Ibn Baz dkk ? Seakan-akan golongan wahabi menyatakan bahwa para ulama salafi palsu ini mengklaim diri merekalah yang ‘lebih nyalaf’ dibandingkan para Salaf As-Sholeh itu sendiri !
Dan banyak lagi kasus ulama wahabi yang lebih mengunggulkan pendapatnya sendiri, ketika pada saat yang bersamaan terdapat pendapat dari Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in yang berbeda dengan pendapat mereka. Sebagaimana contoh berikut :

“ Pada suatu pelajaran, Abdullah Ibn Baz pernah menyatakan bahwa membolehkan pernikahan dengan ahlul kitab (nasrani) dengan persyaratan. Sebagian mahasiswa yang mengikuti pelajaran itu berkata : “Wahai Syeikh, sebagian Sahabat melarang hal itu !”. Beliau menoleh kepada Mahasiswa itu, lalu berkata : “Apakah perkataan Sahabat menentang Al-Qur’an dan As-Sunnah ? Tidak berlaku pendapat siapapun setelah firman Allah SWT dan sabda Rasul-Nya“ (Majalah Hidayatullah edisi 03XVIIJuli 2004; hal. 40-41).

Lalu bagaimana bisa, golongan wahabi ini mengklaim mengambil manhaj Salaf dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana pemahaman sahabat, sementara pada saat yang bersamaan menolak dan mencampakkan pendapat mereka ? Seraya melontarkan kata-kata keji yang menodai kemulian para Sahabat ini yang telah ditetapkan dengan nash Al-Qur’an dan Al-Hadis, dengan ucapan : “Hadis shahih ini belum sampai pada mereka’, atau ‘apakah anda akan memilih pendapat sahabat atau hadis Rasul SAW’ “!! Sehingga menurut orang-orang salafi palsu ini, seakan-akan mereka para sahabat ini adalah orang awam yang tidak pernah mendengar apalagi mendapat hadis dari Rasul SAW !
Cukuplah hadis Rasulullah SAW untuk menghakimi perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan mereka : “Jika anda melihat orang-orang yang mecela sahabatku, maka katakanlah; Laknat Allah atas keburukanmu” (HR. AT-Tirmidzi) !!!

Lalu bagaimana juga bisa dikatakan bahwa hasil pemahaman akal Ibn Baz, Utsaimin, Albani dkk atas nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah selalu mewakili pendapat dan pemahaman Salaf atau dikatakan sebagaimana pemahaman para sahabat ?!, seperti yang dilakukan oleh Ibn Baz ketika ia mengomentari banyak persolan yang diulas oleh seseorang dengan menyebutkan , menurut madzhab ini begini dan menurut madzhab itu begitu. Lalu dia berkomentar : “Bagi kami tidak berpendapat berdasarkan madzhab ini dan madzhab itu. Kami berpendapat dengan firman Allah SWT dan sabda rasul SAW “(Majalah Hidayatullah edisi 03XVIIJuli 2004; hal. 40-41).


Apakah para wahabiyyun itu tidak mengetahui, dari mana para ulama ahlussunnah ini mengambil pendapat madzhabnya ? Mereka mengambil pendapatnya dari Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn Hambal dll ! Kitab Al-Muwatho karya Imam Malik (sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Imam Malik dalam muqadimah kitabnya) mendapat rekomendasi dari 70 ulama Madinah yang merupakan anak keturunan dan murid sahabat atau tabi’in dan tabiu’ tabi’in di Madinah. Lalu Fathur Rabani-nya – Imam Ahmad Ibn Hambal yang berisi ribuan hadis nabi SAW, bahkan ketika beliau ditanya apakah seorang yg hafal 100 ribu hadis boleh berijtihad sendiri, Imam Ahmad menjawab : ‘Belum boleh’. Lalu beliau ditanya lagi : ‘apakah seorang yg hafal 200 ribu hadis boleh berijtihad sendiri’ , Imam Ahmad menjawab : ‘Belum boleh’. Ketika beliau ditanya kembali : ‘apakah seorang yg hafal 400 ribu hadis boleh berijtihad sendiri’ , lalu Imam Ahmad menjawab : ‘boleh’. Bahkan Imam Abu Hatim sampai menyatakan bahwa mencintai Imam Ahmad adalah pengikut Sunnah. Abu Hatim berkata : “Jika anda lihat seseorang mencintai Imam Ahmad ketahuilah ia adalah pengikut Sunnah.” (As-Siyar A’lam An- Nubala’ 11/198).

Lalu apakah tidak boleh seseorang yang mengambil pendapat Imam Malik (yang menjadi pewaris madzhab Sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in); lalu Imam Ahmad (yang hafal 400 ribu hadis), imam syafii yg menulis kitab Al-Umm, Ar-Risalah (yang juga berisi ribuan hadis); dan Imam Abu Hanifah yg menulis kitab Al-Mabsuth dll (yang berisi juga hadis-hadis dan fatwa Salaf Ash-Sholeh) dan Ulama Mujtahid lainnya ?
Apakah ketika ada seseorang mengambil salah satu pendapat Imam Asy-Syafii, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn Hambal dll dikatakan sebagai Ahlut Taqlid, sedang ketika wahabiyyun mengambil Albani, Ibn Baz, Utsaimin dll, disebut sebagai muttabi (pengikut) Manhaj Salaf ?! Lalu adakah salah satu ulama wahabi yang punya karya melebihi al-Muwatho Imam Malik, atau yg hafal hadis lebih dari 400 ribu seperti Imam Ahmad, atau kitab fiqh sunnah seperti Al-Umm atau Al-Mabsuth !!! Tidak ada !!! Lantas bagaimana kelompok sempalan ini bisa mengatakan hal seperti itu ?!
Sungguh ucapan seperti itu merupakan bentuk kekurang ajaran kepada para Ulama Mujtahid yg dilontarkan dari generasi terakhir yang sama sekali tidak mencapai barang secuil pun dari ilmu para Imam Mujtahid (yang sering sok tahu dengan mengklaim paling berpegang dengan madzhab Salaf !!!), dan pada saat bersamaan menuduh para ulama alussunnah yang mengambil pendapat para Imam Mujtahid sabagai Ahlut Taqlid. Padahal sebenarnya Imam Mujtahid inilah yang paling layak disebut sebagai pewaris madzhab Salaf dalam Aqidah dan fiqh karena dekatnya mereka dengan masa Sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin dan banyak ahli ilmu pada masa itu !

Tidak cukup sampai disini tatkala ada seseorang atau kelompok menukil atau mengambil pendapat Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn Hambal dll, yang berbeda dengan pemahaman seorang tokoh wahabi, maka serta merta kelompok sempalan ini biasanya akan mengatakan : “tinggalkan pendapat Syafi’i atau Hanafi, dan ambilah hadis shohih ini yang telah ditakhrij oleh Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shohihah atau Adh-Dhoifah !” . Lalu seakan-akan wahabi menuduh Imam Syafi’i, Maliki, dan Hambali adalah ‘anak kemarin sore’ yang tidak tahu dalil, apalagi hadis shohih dan dhoif, lalu untuk memperkuat argumentasinya biasanya dinukil ucapan Para Imam Ini; spt Imam Syafi’i : “ Jika ada hadis shohih, maka tinggalkan pendapatku” atau ucapan Imam Hanafi atau Maliki yang serupa – (tentunya dengan pemahaman yang tidak pada mestinya dan merasa ‘ke pe-de-an’) !

Padahal, sebenarnya para Imam ini tetap berhujjah dengan Al-Qur’an dan Al-Hadis, dimana yang membuat pendapat mereka berbeda bisa karena : perbedaan metode Ushul Fiqh untuk istimbath (mengekstaksi hukum-hukum dari dalil-dali syara), atau mereka berbeda dalam menghukumi apakah nash ini apakah sudah mansukh dan hukum yang baru ditentukan dengan nash yang lain, atau mereka berbeda tentang status keshahihan sebuah hadis atau sebab lain. Itu pun jika wahabiyyun memang mau mencari Al-Haq dangan hujjah yang terkuat dan melepaskan ‘ruh ta’asub’ !!
Disisi lain, ulama wahabiyyun ini juga kadang melakukan penukilan ‘khianat’ dari para ulama tentang keharusan ‘mentahdzir’ (memberi hukuman) ahlul bid’ah yang tidak sesuai dan tidak pada tempatnya atau cara pemahaman mereka yang tekstual, padahal para ulama yang dinukil qaul-nya tadi, juga sebagian besar divonis sesat oleh ulama wahabiyyun !!!
Imam Qurthubi, Imam Nawawi, AL-Hafidz Ibn Hajar, Imam Al-Hakim dll divonis menyimpang aqidahnya karena mereka asy’ari, tapi kitab mereka seperti tafsir al-qurthubi, Syarh shohih muslim, al-mustadrak, fathul bari dan karya Ibn Hajar yang lain tentang manakibur rijal al-hadis (biografi para perawi hadis), masih sering dinukil bahkan tidak jarang digunakan unutk menjustifikasi ‘pendapat mereka’ dan digunakan untuk ‘ menohok’ saudara sesama muslim. Apa itu bukan asal comot namanya ?! Seharusnya, ketika mereka sudah memvonis bahwa ulama tersebut berbeda aqidah dengan aqidah yang mereka peluk, mereka sudah tidak berhak lagi menukil dari karya-karya mereka !!!
( tidak konsisten dan standard ganda seperti orang ‘bokek’, maka sepertinya wajar saja ada yang menyebut golongan ini sebagai ‘madzhab plin-plan’ )

Bahkan jika memang kelompok salafi palsu ini berisi oleh ulama yang ‘pilih tanding’, buat saja tafsir yang selevel dengan milik AL-Qurtubi atau Ibn Katsier; atau buat kitab Jarh Wa Ta’dil atau Manakib Ar-rijal Al-hadis yang lebih baik dari karya Al-Hafidz Ibn Hajar atau Al-Hafidz Ibn Asakir dll; atau buatlah kitab hadis yang jauh lebih shohih dari Al-Mustadraknya Al-Hakim atau Kitab Shohihnya Ibnu Hibban, Mu’jamnya Ibn Hajar Al-Asqolani. Itu pun kalau wahabi mampu !!
!
Lalu siapakah Albani, Ibn Baz, Utsaimin dkk, jika dibandingkan dengan Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali ?! Padahal kepada mereka inilah (yaitu Imam Syafi’i dkk) para ‘warasatul anbiya’ kita mengkaji dan mengambil Al-Islam ini ! Ditambah lagi dengan mudahnya kelompok sempalan ini menuduh para ulama pengikut Madzhab Imam Syafi’i, Maliki, Hambali, Hanafi sebagai Ahlul bid’ah karena punya hasil ijtihad yang berbeda dengan kelompok mereka dalam memahami nash-nash syara’ atau bahkan dicap sesat bahkan disamakan dengan Mu’tazilah atau Jabariyah ketika mereka punya penafsiran yang berbeda terutama dalam masalah aqidah (biasanya dalam masalah Asma dan Sifat) .
Padahal pada hakikatnya yang lebih pantas disebut sebagai penerus madzhab Salaf Ash-Sholeh adalah para Imam ini, seperti Imam Syafi’i, Maliki, Hambali, Hanafi, Al-Auzai, Hasan Al-Bashri dll dari para Mujtahid umat ini, karena dekatnya mereka dengan masa para Salaf Ash-Shalih dan telah terbukti mereka punya metode ushul fiqh; yang dengan metode itu mereka berijtihad dan melakukan istimbath untuk menjawab problematika umat pada masanya, sehingga umat Islam senantiasa terikat dengan hukum syara’ bukan dengan hukum yang lainnya ! Dan bukannya Albani, Utsaimin, dan Ibn Baz atau selain mereka, kecuali mereka bisa menunjukkan metode Ushul Fiqh yang jauh lebih unggul dari para Imam Mujtahid ini !!!

Klaim bahwa wahabiyyun mengikuti pemahaman para sahabat itu terbukti kelemahannya, karena tidak ada satu riwayatpun yang shahih – yang menceritakan kepada kita bahwa para sahabat atau salah seorang diantara mereka membukukan metode mereka dalam memahami nash-nash syara’ (metode Ushul Fiqh), kecuali sebagian riwayat yang menjelaskan tentang fatwa sahabat dan tabi’in dalam beberapa masalah seperti yang banyak dicantumkan oleh Imam Malik dalam Kitabnya ‘Al-Muwatho’. Malah ternyata mereka hanya mengikuti pemahaman Albani, Ibn Baz, Utsaimin dkk. Bukannya ini taqlid buta ?! Atau ‘memaksakan’ berijtihad sendiri ?!

Pertanyaannya adalah : dari mana kelompok salafi palsu ini mengklaim mengetahui cara para sahabat, tabiin dan tabiut tabiin ini memahami Al-Quran dan As-Sunnah, padahal mereka (para Sahabat) tidak pernah membukukan metode tersebut ?!!
Jawabnya mudah : baca kitab Ar-Risalah dan Al-Umm-nya Imam Asy-Syafi’i, karena beliaulah yang pertama kali (menurut sebagian Ulama dan sejarawan Islam) yang membukukan metode tersebut (yang kemudian dikenal dengan metode Ushul Fiqh) !!! Yang selanjutnya digunakan ulama-ulama sesudahnya sebagai patokan dan pedoman untuk memahami nash-nash syara dari Al-Kitab dan As-Sunnah !!! Hal sama juga akan kita dapati jika kita mengkaji kitab Fiqh Al-Akbar-nya Imam Abu Hanifah, Al-Muwatho-nya Imam Malik, Fathur Rabani-nya Imam Ahmad Ibn Hambal dll ? Jadi, bukan atas fatwa Albani, Ibn Baz dan Utsaimin !!! Dan ternyata para wahabiyyun banyak terpengaruh kitab-kitab karangan ulama wahabi ini serta ulasan-ulasan mereka mengenai kitab-kitab karangan para Imam madzhab sebagaimana pemikirannya sendiri bahkan dengan kebusukan mereka memalsukan isi-isi kitab klasik karangan para ulama salaf !!!
Lalu dari mana para Imam ini merumuskan metode Ushul Fiqh, kalau tidak dari pendahulu mereka yang mulia, mengingat masih dekatnya masa mereka dengan masa para Salaf Ash-Sholeh tersebut (banyak yang mengatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan Imam Malik masih termasuk Tabi’in dan tabi’ut tabi’in), dan banyaknya Ahli Ilmu pada masa itu ?! Apalagi banyak riwayat yang menyebutkan bahwa karya-karya mereka seperti Al-Umm, Ar-Risalah atau Fathur rabbani – Musnad Imam Ahmad diakui oleh jumhur ulama pada masa itu. Bahkan Al-Muwatho (sebagaimana dinyatakan oleh Imam Malik dalam muqadimah kitabnya) mendapat rekomendasi dari 70 ulama Madinah yang merupakan anak keturunan dan murid sahabat atau tabi’in dan tabiu’ tabi’in di Madinah.

Walhasil, yang pantas disebut sebagai penerus Salaf Ash-Sholeh dan berjalan diatas manhaj salaf serta mengerti pemahaman para sahabat adalah mereka yang mengikuti metode Ushul Fiqh yang telah dirumuskan oleh Para Imam Mujtahid ini, untuk menggali hukum dari nash-nash syara’ guna menjawab problematika kontemporer umat saat ini, agar seperti pendahulunya mereka senantiasa terikat dengan Syari’at Islam.
Lalu sekarang darimana wahabiyyun bisa buktikan, bahwa metode yang mereka gunakan itu adalah metode yang sama dengan yang digunakan para salaf ini ? Sedangkan wahabiyyun tidak punya metode ushul fiqh baku yang di-ikuti dalam berijtihad, apalagi membuktikan kalau metode itu berasal dari para Salaf Ash-Sholeh ini !

Selanjutnya, tentang ulama-ulama wahabi yang diaku sebagai Ulama Hadis, apakah memang benar realitanya seperti itu ? Semua orang boleh melakukan klaim, tetapi semua itu harus dibuktikan terlebih dahulu !!!
Coba perhatikan penjelasan Imam Sakhowi tentang siapa Ahli Hadis (muhaddis) itu sebenarnya : “Menurut sebagian Imam hadis, orang yang disebut dengan Ahli Hadis (Muhaddis) adalah orang yang pernah menulis hadis, membaca, mendengar, dan menghafalkan, serta mengadakan rihlah (perjalanan) keberbagai tempat untuk mendapatkan hadis, mampu merumuskan beberapa aturan pokok (hadis), dan mengomentari cabang dari Kitab Musnad, Illat, Tarikh yang kurang lebih mencapai 1000 buah karangan”. Jika demikian (syarat-syarat ini terpenuhi) maka tidak diingkari bahwa dirinya adalah ahli hadis.
Tetapi jika ia sudah mengenakan jubah pada kepalanya, lalu berkumpul dengan para penguasa pada masanya, atau menghalalkan perhiasan lu’lu dan marjan atau memakai pakaian yang berlebihan (pakaian yang berwarna-warni), dan ia hanya mempelajari hadis Al-Ifki wa Al-Butan, maka ia telah merusak harga dirinya, bahkan ia tidak memahami apa yang dibicarakan kepadanya, baik dari juz atau kitab asalnya. Ia tidak pantas dan jauh dari menyan dang gelar seorang Muhaddis. Karena dengan kebodohannya ia telah memakan sesuatu yang haram. Jika ia menghalalkannya maka ia telah keluar dari Agama Islam (Lihat Fathu Al-Mughis li Al- Sakhowi, juz 1hal. 40-41). Sehingga yang layak menyandang gelar ini adalah Muhaddis generasi awal seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Nasa’i, Imam Ibn Majah, Imam Daruquthni, Imam Al-Hakim Naisaburi ,Imam Ibn Hibban dll. Apakah tidak terlalu berlebihan (atau bahkan termasuk ghuluw) dengan menyamakan mereka (Imam Bukhari, Imam Muslim, imam Abu Dawud dkk) dengan syeikh-syeikh wahabi yang tidak pernah menulis hadis, membaca, mendengar, menghafal, meriwayatkan, melakukan perjalanan mencari hadis atau bahkan memberikan kontribusi pada perkembangan Ilmu hadis yang mencapai seribu karangan lebih ?

Sekarang kita tinggal tanya saja pada pengikut, simpatisan, dan korban doktrin wahabi ini;

apakah masih menganggap Albani sebagai muhaddits? Atau utsaimin telah keluar dari kontradiksinya tentang bid’ah?
Atau masih mengikuti ulama-ulama mereka yang selalu mengeluarkan fatwa-fatwa nyeleneh yang membuat kemarahan muslim sedunia ?

Atau hanyalah pentaqlid buta ulama wahabi yang berlindung dibalik ketiak raja saudi ?!

~ Smoga manfaat ~

Jumat, 28 Juni 2013

LARANGAN MENJATUHKAN VONIS KUFUR ( TAKFIR ) SECARA MEMBABI BUTA


Banyak orang keliru dalam memahami substansi faktor-faktor yang membuat seseorang keluar dari Islam dan divonis kafir. Anda akan menyaksikan mereka segera memvonis kafir seseorang hanya karena ia memiliki pandangan berbeda. Vonis yang tergesa-gesa ini bisa membuat jumlah penduduk muslim di dunia tinggal sedikit. Kami, karena husnuddzon, berusaha memaklumi tindakan tersebut serta berfikir barangkali niat mereka baik. Dorongan kewajiban mempraktekkan amar ma’ruf nahi munkar mungkin mendasari tindakan mereka. Sayangnya, mereka lupa bahwa kewajiban mempraktekkan amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan cara-cara yang bijak dan tutur kata yang baik (bi al-Hikmah wa al-Mau’idzoh al–Hasanah).
Jika kondisi memaksa untuk melakukan perdebatan maka hal ini harus dilakukan dengan metode yang paling baik sebagaimana disebutkan dalam QS. an-Nahl:125:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
 Praktek amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang baik ini perlu dikembangkan karena lebih efektif untuk menggapai hasil yang diharapkan. Menggunakan cara yang negatif dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar adalah tindakan yang salah dan tolol.
Jika Anda mengajak seorang muslim yang sudah taat mengerjakan sholat, melaksakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah, menjauhi hal-hal yang diharamkan-Nya, menyebarkan dakwah, mendirikan masjid, dan menegakkan syi’ar-syi’ar-Nya untuk melakukan sesuatu yang Anda nilai benar sedangkan dia memiliki penilaian berbeda dan para ulama sendiri sejak dulu berbeda pendapat dalam persoalan tersebut kemudian dia tidak mengikuti ajakanmu lalu kamu menilainya kafir hanya karena berbeda pandangan denganmu maka sungguh kamu telah melakukan kesalahan besar yang Allah melarang kamu untuk melakukannya dan menyuruhmu untuk menggunakan cara yang bijak dan tutur kata yang baik.
Al-'Allamah al-Imam as-Sayyid Ahmad Masyhur bin Thoha al-Haddad mengatakan, “Telah ada konsensus ulama untuk melarang memvonis kufur ahlul qiblat (ummat Islam) kecuali akibat dari tindakan yang mengandung unsur meniadakan eksistensi Allah, kemusyrikan yang nyata yang tidak mungkin ditafsirkan lain, mengingkari kenabian, prinsip-prinsip ajaran agama Islam yang harus diketahui ummat Islam tanpa pandang bulu (ma ‘ulima min ad-din bi adh-dharurat), mengingkari ajaran yang dikategorikan mutawatir atau yang telah mendapat konsensus ulama dan wajib diketahui semua ummat Islam tanpa pandang bulu.
Ajaran-ajaran yang dikategorikan wajib diketahui semua ummat Islam seperti masalah ke-Esaan Allah, kenabian, diakhirinya kerasulan dengan Nabi Muhammad saw, kebangkitan di hari akhir, hisab (perhitungan amal), balasan, surga dan neraka bisa mengakibatkan kekafiran orang yang mengingkarinya dan tidak ada toleransi bagi siapapun umat Islam yang tidak mengetahuinya kecuali orang yang baru masuk Islam maka ia diberi toleransi sampai mempelajarinya kemudian sesudahnya tidak ada toleransi lagi.
Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan sekelompok perawi yang mustahil melakukan kebohongan kolektif dan diperoleh dari sekelompok perawi yang sama. Kemutawatir bisa dipandang dari :
1. Aspek isnad seperti hadits :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

"Barangsiapa berbohong atas namaku maka carilah tempatnya di neraka" (HR. Muslim)

2. Aspek tingkatan kelompok perawi. Seperti kemutawatiran al-Qur’an yang kemutawatirannya terjadi di muka bumi ini dari wilayah barat hingga timur dari aspek kajian, pembacaan, dan penghafalan serta ditransfer dari kelompok perawi satu kepada kelompok lain dari berbagai tingkatannya sehingga ia tidak membutuhkan isnad.
Kemutawatiran ada juga yang dikategorikan mutawatir dari aspek praktikal dan turun-temurun (tawuturu ‘amalin wa tawarutsin) seperti praktik atas sesuatu hal sejak zaman nabi sampai sekarang, atau mutawatir dari aspek informasi (tawaturu ‘ilmin) seperti kemutawatiran mu’jizat-mu’jizat. Karena mu’jizat-mu’jizat itu meskipun satu persatunya malah sebagian ada yang dikategorikan hadits ahad namun benang merah dari semua mu’jizat tersebut mutlak mutawatir dalam pengetahuan setiap muslim. Memvonis kufur seorang muslim di luar konteks di muka adalah tindakan fatal.
Dalam sebuah hadits disebutkan :

إِذَا قَالَ الرجلُ لأَخِيه : يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا


"Jika seorang laki-laki berkata kepada saudara muslimnya; Hai kafir, maka vonis kufur telah jatuh pada salah satu dari keduanya." ( HR.Bukhari)

Vonis kufur tidak boleh dijatuhkan kecuali oleh orang yang mengetahui seluk-beluk keluar masuknya seseorang dalam lingkaran kufur dan batasan-batasan yang memisahkan antara kufur dan iman dalam hukum syari’at Islam. Tidak diperkenankan bagi siapapun memasuki wilayah ini dan menjatuhkan vonis kufur berdasarkan prasangka dan dugaan tanpa kehati-hatian, kepastian dan informasi akurat. Jika vonis kufur dilakukan dengan sembarangan maka akan kacau dan mengakibatkan penduduk muslim yang berada di dunia ini hanya tinggal segelintir.
Demikian pula, tidak diperbolehkan menjatuhkan vonis kufur terhadap tindakan-tindakan maksiat sepanjang keimanan dan pengakuan terhadap syahadatain tetap terpelihara. Dalam sebuah hadits dari Anas ra. Rasulullah saw. bersabda :

ثَلَاثٌ مِنْ أَصْلِ الْإِيمَانِ : الْكَفُّ عَمَّنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نُكَفِّرُهُ بِذَنْبٍ وَلَا نُخْرِجُهُ مِنْ الْإِسْلَامِ بِعَمَلٍ ، وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لَا يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلَا عَدْلُ عَادِلٍ وَالْإِيمَانُ بِالْأَقْدَارِ

“Tiga hal merupakan pokok iman; menahan diri dari orang yang menyatakan tiada Tuhan kecuali Allah, tidak memvonis kafir akibat dosa dan tidak mengeluarkannya dari agama Islam akibat perbuatan dosa. Jihad berlangsung terus semenjak Allah mengutusku sampai akhir umatku memerangi Dajjal. Jihad tidak bisa dihapus oleh kelaliman orang yang lalim dan keadilan orang yang adil dan meyakini kebenaran takdir”. (HR. Abu Daud)

Al-Imam al-Haramain pernah berkata: “Jika ditanyakan kepadaku: Tolong jelaskan dengan detail ungkapan-ungkapan yang menyebabkan kufur dan tidak”. Maka saya akan menjawab,” Pertanyaan ini adalah harapan yang bukan pada tempatnya. Karena penjelasan secara detail persoalan ini membutuhkan argumentasi mendalam dan proses rumit yang digali dari dasar-dasar ilmu Tauhid. Siapapun yang tidak dikarunia puncak-puncak hakikat maka ia akan gagal meraih bukti-bukti kuat menyangkut dalil-dalil pengkafiran”.
Berangkat dari paparan di muka kami ingatkan untuk menjauhi pengkafiran secara membabi buta di luar poin-poin yang telah dijelaskan di atas. Karena tindakan pengkafiran bisa berakibat sangat fatal. Hanya Allah swt. yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus dan hanya kepada-Nya lah tempat kembali.


__

MENYENTUH MUSHAF AL-QURAN TANPA WUDHU

BOLEHKAH MENYENTUH MUSHAF AL-QURAN TANPA WUDHU



Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memang kita menemukan adanya perbedaan pendapat di tengah masyarakat tentang hukum menyentuh mushaf Al-Quran. Sebagian berpendapat bahwa menyentuh mushaf itu harus dalam keadaan suci dari hadats kecil dan juga hadats besar. Artinya harus berwudhu' dulu baru boleh sentuh mushaf Al-Quran.

Sementara sebagian lagi dari masyarakat kita punya kecenderungan untuk membolehkan orang yang tidak punya wudhu' untuk menyentuh mushaf.


A. Khilafiyah Kalangan Mujtahid

Sebenarnya masalah ini bukan sekedar perbedaan pendapat di tengah masyarakat awam kita, namun sudah sejak masa salaf dulu kita menemukan perbedaan pendapat ini, yang menjadi diskusi menarik para ahli ilmu, mujtahid dan fuqaha'.

Peta sederhananya adalah bahwa jumhur ulama mewajibkan wudhu, namun ada mazhab Dzhahiri yang membolehkan.

1. Jumhur Ulama : Harus Suci Dari Hadats Kecil

Kalau kita buka literatur kitab-kitab fiqih klasik, memang kita akan dapati bahwa ternyata jumhur (mayoritas) ulama umumnya menyatakan bahwa diharamkan menyentuh mushaf Al-Quran bila seseorang dalam keadaan hadats kecil. Dalam kata lain, haram menyentuh mushaf bila tidak punya wudhu'.

Di kalangan para shahabat Nabi SAW ada begitu banyak ulama yang mengharamkan kita menyentuh mushaf kecuali bila kita suci dari hadats. Di antara mereka yang mengharamkan adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud, Sa'ad bin Abi Waqqash ridhwanullahi 'alaihim ajmain.

Sedangkan di kalangan tabi'in dan generasi berikutnya adalah Said bin Zaid, Atha', Az-Zuhri, Ibrahim An-Nakha'i, Hammad, dan yang lainnya.

Mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa haram hukumnya bagi orang yang dalam keadaan hadats kecil, untuk menyentuh mushaf meski pun dengan alas atau batang lidi.

Sedangkan Al-Hanafiyah meski mengharamkan sentuhan langsung, namun bila dengan menggunakan alas atau batang lidi hukumnya boleh. Syaratnya alas atau batang lidi itu suci tidak mengandung najis.

> Dasar yang umumnya digunakan adalah ayat berikut ini :

لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ المـُطَهَّرُون


Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci. (QS. Al-Waqi’ah : 79)

> Selain itu juga ada dalil keharammnya dari hadits Rasulullah SAW berikut ini :

عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ رَحِمَهُ اَللَّهُ أَنَّ فِي اَلْكِتَابِ اَلَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وِسَلَّمَ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ: أَنْ لاَ يَمَسَّ اَلْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ

Dari Abdullah bin Abi Bakar bahwa dalam surat yang ditulis oleh Rasulullah SAW kepada ‘Amr bin Hazm tertulis : Janganlah seseorang menyentuh Al-Quran kecuali orang yang suci”.
(HR. Malik).

Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa keharaman menyentuh mushaf bagi orang yang berhadats kecil ini sudah menjadi pendapat jumhur ulama yang didukung 4 mazhab utama. Artinya, tidak ada khilafiyah di antara keempat mazhab itu tentang haramnya seorang yang berhadats kecil untuk menyentuh mushaf.

2. Mazhab Ad-Dhzahiri : Membolehkan

Ibnu Qudamah menegaskan bahwa satu-satunya mazhab yang membolehkan orang yang berhadats menyentuh mushaf Al-Quran adalah mahzah Adz-Dhzahiri.

Dalam pandangan mazhab ini yang diharamkan menyentuh mushaf hanyalah orang yang berhadats besar sedangkan yang berhadats kecil tidak diharamkan.

Sedangkan di kalangan shahabat, di antara mereka yang membolehkan menyentuh mushaf tanpa wudhu adalah pendapat Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahuanhu.

B. Studi Kritis Atas Tafsir Ayat Al-Quran

Salah satu titik krusial perbedaan pendapat ini adalah masalah ayat Al-Quran yang dijadikan dalil, yaitu ayat ke-79 dari surat Al-Waqi'ah di atas :

لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ المـُطَهَّرُون

Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci. (QS. Al-Waqi’ah : 79)

Kalau kita buka kitab tasifr klasik, memang kita menemukan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang apa yang dibicarakan dalam ayat ini.

Dalam kitab Al-Jami' li Ahkamil Quran karya Al-Imam Al-Qurthubi disebutkan bahwa para ulama berbeda pendapat pada dua hal. Pertama, apakah kata 'menyentuh' disini maksudnya menyentuh secara fisik atau secara kiasan. Kedua, siapa yang dimaksud dengan 'al-muthahhrun' dalam ayat ini, orang yang tidak berhadats kah atau para malaikat?

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan 'al-muthahhrun' disini bukan orang yang suci dari hadats, tetapi para malaikat. Dan objek yang tidak disentuh itu bukan mushaf Al-Quran yang kita kenal, melainkan Al-Quran yang ada di Lauhil Mahfudz di atas langit sana.

Di antara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Anas, Said bin Jubair, Qatadah, Abu Al-'Aliyah dan Ibnu Zaid.

Namun sebagian ulama menyebutkan bahwa dalam menafsirkan ayat Al-Quran memang bisa saja dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan zahir dan pendekatan kiasan. Hanya saja, kalau ayat Al-Quran masih bisa ditafsirkan apa adanya lewat pendekatan zahir, tidak boleh langsung ditafsirkan lewat pendekatan kiasan. Oleh karena itu menurut pendapat ini, yang lebih tepat menafsirkan ayat ini dengan pendekatan zahir apa adanya, tidak dikiaskan kepada hal yang lain.
Jadi di sunah-kan untuk ber-wudhu...

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kamis, 27 Juni 2013

PENJELASAN HADITS KHAWARIJ

kali ini mari kita simak pembahasan mengenai khawarij
khawarij sebenarnya sudah dijelaskan oleh rasulullah saw,yang semustinya kita sebagai umat beliau tentulah kita mengambil pelajaran dari sunnah beliau.
Rasulullah SAW telah memperingatkan kita :

يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنْ أُمَّتِي يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَيْسَ قِرَاءُتُكُمْ إِلَى قِرَاءَتِهِمْ بِشَيْءٍ وَلاَ صَلاَتُكُمْ إِلَى صَلاَتِهِمْ بِشَيْءٍ وَلاَ صِيَامُكُمْ إِلَى صِيَامِهِمْ بِشَيْءٍ


“Akan keluar satu kaum dari umatku yang membaca Al-Qur’an, dimana bacaan kalian tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan bacaan mereka, demikian pula sholat ka…lian tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sholat mereka, juga puasa kalian tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan puasa mereka.”
(HR. Muslim no 2516)

Perhatikanlah bagaimana hebatnya ibadah mereka, namun bersamaan dengan itu, Rasulullah menyatakan mereka adalah anjing-anjing neraka, sebagaimana dalam hadits berikut ini:

كِلاَبُ النَّارِ شَرُّ قَتْلًى تَحْتَ أَدِيْمِ السَّمَاءِ خَيْرُ قَتْلَى مَنْ قَتَلُوهُ


“Mereka adalah anjing-anjing neraka. seburuk-buruknya makhluk yang terbunuh di bawah kolong langit, sedang sebaik-baiknya makhluk yang terbunuh adalah yang dibunuh oleh mereka.”
(HR. At-Tirmidzi, no. 3000, dari Abu Umamah Al-Bahili -radhiyallahu’anhu-), dihasankan dalam Al-Misykah, no. 3554


أَنَّ الْحَرُوْرِيَّة لَمَّا خَرَجَتْ عَلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَهُوَ مَعَهُ فَقَالُوا ” لاَ حُكْمَ إِلاَّ لِلَّهِ ” قَالَ عَلِيٌّ : كَلِمَةُ حَقٍّ أُرِيْدَ بِهَا بَاطِلٌ, إِنَّ رَسُولَ اللهِ {صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} وَصَفَ لَنَا نَاسًا إِنِّي لَأَعْرِفُ صِفَتَهُمْ فِي هَؤُلاَءِ يَقُوْلُونَ الَحَقُّ بِأَلْسِنَتِهِمْ لاَ يُجَاوِزُ هَذَا مِنْهُمْ وَأَشَارَ إِلَى حَلَقِهِ . (رواه مسلم )


“Ketika kaum Khawarij Haruriyah memberontak kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib mereka mengatakan, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah”. Maka Ali berkata,”Perkataan yang benar, namun yang diinginkan dengannya adalah kebatilan. Sesungguhnya Rasulullah pernah menjelaskan kepadaku tentang ciri-ciri sekelompok orang yang telah aku tahu sekarang bahwa ciri-ciri tersebut ada pada mereka (Khawarij),yaitu mereka mengucapkan perkataan yang benar hanya dengan lisan-lisan mereka, namun tidak melewati kerongkongan mereka.
(HR. Muslim )


Khawarij akan terus berlanjut dalam berbagai bentuknya, sebagaimana telah disinggung dari hadits Abu Barzah, bahwa Rasulullah berkata:

لاَ يَزَالُوْنَ يَخْرُجُوْنَ حَتَّى يَخْرُجَ آخِرَهُمْ


“dan senantiasa mereka akan muncul, hingga munculnya kelompok mereka yang terakhir.”
1) Pada hadits ini terdapat lafazh tambahan sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (hadits no. 37917); Ahmad (IV/424); Al-Bazzar (IX/294, 305); An-Nasa‘i dalam kitabnya As-Sunanul Kubra (hadits no. 3566), kemudian dalam kitab beliau Al-Mujtaba (hadits no. 4114); Ar-Ruyani (hadits no. 766), yang lafazhnya adalah:

حَتَّى يَخْرُجَ آخِرَهُمْ مَعَ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ


“…hingga munculnya kelompok terakhir dari mereka (kaum Khawarij ini) bersama Al-Masih Ad-Dajjal.”

Dalam hadits yang diriwayatkan dari shahabat Ibnu ’Umar bahwa Rasulullah bersabda:

يَنْشَأُ نَشْءٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ كُلَّمَا خَرَجَ قَرْنٌ قُطِعَ –قَالَ ابْنُ عُمَرَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ يَقُولُ: (( كُلَّمَا خَرَجَ قَرْنٌ قُطِعَ )) أَكْثَرَ مِنْ عِشْرِينَ مَرَّةً –حَتَّى يَخْرُجَ فِي عِرَاضِهِمْ الدَّجَّال


“Akan muncul sekelompok pemuda yang (pandai) membaca Al-Qur‘an namun bacaan tersebut tidak melewati kerongkongannya. Setiap kali muncul sekelompok dari mereka pasti tertumpas.” Ibnu ’Umar berkata: ‘Saya mendengar Rasulullah mengulang kalimat: “Setiap kali muncul sekelompok dari mereka pasti tertumpas” lebih dari 20 x.’ Kemudian beliau berkata: “Hingga muncullah Ad-Dajjal dalam barisan pasukan mereka.”
[HR. Ibnu Majah].

setelah anda baca penjelasan di atas,sekarang coba anda kaji dan berfikirlah dengan sehat, golongan manakah yang menurut anda adalah golongan khawarij?
golongan manakah yang sering membantai umat islam dengan memakai dalih menegakkan hukum allah?
golongan manakah yang selalu berseru bermanhaj salaf mengikuti alqur'an dan alhadits tapi tidak memahami alqur'an dan alhadits karna hanya mengambil yang sesuai dengan kehendaknya sendiri dan hanya menyimak alqur'an secara harfiyah saja?
silahkan anda renungkan.

semoga artikel Hadits Penjelasan Khawarij ini bermanfaat.

ArtikeL terkait DI SINI


@@

Rabu, 26 Juni 2013

IMAM SYAFI'I : "Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku"



Selain slogan 'kembali ke- Quran & Sunah,,,,,'
Pernyataan di atas, yaitu “Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku” adalah perkataan Imam Syafi’i yang sangat sering dikutip oleh kelompok menyimpang untuk menyesatkan umat. Dengan mempedomani perkataan Imam Syafi’i ini, apabila menemukan sebuah hadits shahih, mereka langsung (tanpa mendalami kemungkinan-kemungkinan lain dalam memahami hadits tersebut) menisbahkan kandungan zhahir hadits tersebut sebagai mazhab Syafi’i, dengan alasan setiap hadits yang shahih sanadnya, maka itu adalah pendapat Syafi’i, padahal Imam Syafi’i sendiri terlepas dari penisbatan itu sendiri. Untuk ini, penulis tergerak hati mencoba membahas masalah perkataan Imam Syafi’i ini dengan memperhatikan pendapat dan komentar para ulama mengenai masalah ini.


Sumber periwayatan perkataan “Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku”

Perkataan Imam Syafi’i di atas,  terdapat dalam kitab-kitab karya ulama antara lain :

A.
   
Dalam Kitab Ma’na Qaul al-Imam al-Muthallabi “Idza Shahha al-Hadits Fa huwa Mazhabi” karya Imam al-Subki disebutkan :


سألت وفقك الله عن قول امامنا الشافعي رضي الله عنه إذا صح الحديث فهو مذهبي "وهو قول مشهور عنه لم يختلف الناس في انه قاله وروي عنه معناه ايضا بالفاظ مختلفة
Artinya : Engkau (Tajul al-Subki, anak dari Imam al-Subki) menanyakan – Semoga Allah memberikan taufiq bagimu – tentang perkataan Imam kita Syafi’i r.a. “Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku”. Perkataan tersebut adalah perkataan yang masyhur dari beliau dan tidak terjadi perbedaan pendapat manusia bahwa perkataan tersebut diriwayat dari beliau. Telah diriwayat juga dari beliau perkataan yang semakna dengannya dengan lafazh yang berbeda.  
(Al-Subki, Ma’na Qaul al-Imam al-Muthallabi “Idza Shahha al-Hadits Fa huwa Mazhabi”, Muassasah Qurthubah, Hal. 85)

B
.   
Dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab disebutkan :


صَحَّ عَنْ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنَّهُ قَالَ إذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلَافَ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَعُوا قَوْلِي: وَرُوِيَ عَنْهُ إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ خِلَافَ قَوْلِي فَاعْمَلُوا بِالْحَدِيثِ وَاتْرُكُوا قَوْلِي أَوْ قَالَ فَهُوَ مَذْهَبِي وَرُوِيَ هَذَا الْمَعْنَى بِأَلْفَاظٍ مُخْتَلِفَةٍ
Artinya : Telah shahih dari Syafi’i r.h. sesungguhnya beliau mengatakan : “ Apabila kalian dapatkan dalam kitabku khilaf sunnah Rasulullah SAW, maka katakanlah dengan sunnah Rasulullah SAW dan tinggalkan pendapatku dan telah diriwayat pula “Apabila shahih hadits khilaf dengan pendapatku, maka amalkan hadits dan tinggalkan pendapatku atau Imam Syafi’i berkata : “ maka itulah mazhabku dan telah diriwayat perkataan dengan makna ini dengan lafazh-lafazh yang berbeda.
(Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal. 104)

C.
   
Dalam Nihayah al-Muhtaj disebutkan :


فَقَدْ صَحَّ أَنَّهُ قَالَ: إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي
Artinya : Maka sesungguhnya telah shahih bahwasanya Imam Syafi’i pernah  mengatakan : Apabila shahih hadits,maka itulah mazhabku. 
(Imam al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, [dicetak bersama Hasyiah Ali Syibran al-Malusi dan Hasyiah al-Rasyidi], Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 50)

D.
  
Dalam Kitab Manaqib al-Syafi’i, karangan al-Baihaqi disebutkan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan, ayahku mengatakan, telah mengatakan kepada kami oleh Syafi’i :


اذا صح عندكم الحديث عن النبي صلعم فقولوا حتى اذهب اليه
 Artinya : Apabila di sisimu shahih hadits dari Nabi SAW, maka katakanlah sehingga aku berpendapat berdasarkan hadits itu.
(Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i,  Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 476)


Apakah ada pendapat Imam Syafi’i yang bertentangan dengan hadits shahih
            Dhahir perkataan Imam Syafi’i, “Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku” atau yang semakna dengannya menunjukkan bahwa Imam Syafi’i sangat mementingkan hadits Nabi SAW dan beliau menempatkan posisi hadits dalam istinbath hukum dalam posisi yang semestinya, sehingga tidak heran banyak ulama memuji Syafi’i karena sikap beliau tersebut, bahkan beberapa ulama yang datang sesudahnya menyatakan bahwa tidak ada satupun pendapat Syafi’i yang meninggalkan hadits shahih atau bertentangan dengannya. Ini dapat disimak dari pernyataan antara lain :

Imam  
Ahmad bin Hanbal mengatakan :
“Aku tidak pernah melihat seseorang yang melebihi Syafi’i dalam mengikuti atsar”
(Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i,  Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 471)

 
Ibnu Khuzaimah pernah ditanyai :
“Apakah engkau mengetahui sunnah Rasulullah SAW tentang halal dan haram yang tidak disebut Syafi’i dalam kitabnya, Ibnu Khuzaimah menjawab : “Tidak”.
(Al-Subki, Ma’na Qaul al-Imam al-Muthallabi “Idza Shahha al-Hadits Fa huwa Mazhabi”, Muassasah Qurthubah, Hal. 88)

Namun demikian, sebagai manusia biasa yang tidak bersifat dengan ma’shum, tentu kita tidak boleh beri’tiqad bahwa Imam Syafi’i tidak mungkin bersalah, karena sifat tersebut hanya dipunyai oleh Nabi dan Rasul utusan Allah Ta’ala. Karena itu, Abu Syamah, guru dari Imam al-Nawawi mengatakan :
“Sesusungguhnya Syafi’i membangun mazhabnya berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW serta nadhar shahih yang merujuk kepada keduanya. Namun beliau tentu tidak ma’shum dari lupa.”
(Al-Subki, Ma’na Qaul al-Imam al-Muthallabi “Idza Shahha al-Hadits Fa huwa Mazhabi”, Muassasah Qurthubah, Hal. 101)



Apakah setiap hadits yang shahih sanadnya merupakan mazhab Syafi’i ?
            Dapat dipastikan jawaban pertanyaan di atas adalah tidak semua zhahir makna hadits yang telah dinyatakan shahih sanadnya oleh ahli hadits merupakan mazhab Syafi’i, meskipun harus diakui dan memang begitulah adanya bahwa semua hukum fiqh dalam mazhab Syafi’i didasarkan kepada hadits shahih atau hasan (hadits maqbul). Pernyataan bahwa tidak setiap zhahir makna hadits shahih merupakan mazhab Syafi’i dibuktikan dengan sebagai berikut :
a.       Kadang-kadang Imam Syafi’i tidak mengamalkan zhahir makna dari hadits shahih, karena hadits tersebut dinyatakan mansukh (dihapus). Misalnya hadits yang disebut dalam kitab Shahih al-Bukhari berbunyi :


أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ
Artinya : Yang membekam dan yang dibekam terbuka puasanya.
( HR. Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 33.)
Hadits ini meskipun shahih, namun Imam Syafi’i tidak mengamalkannya, karena menurut pendapat beliau kandungan hadits ini mansukh. Al-Subki menjawab pertanyaan Abu Walid yang mengatakan bahwa hadits “Yang membekam dan yang dibekam terbuka puasanya” adalah shahih, mengatakan :
“Ditolak perkataan Abu Walid tersebut dengan penjelasan bahwa Syafi’i meninggalkan hadits tersebut, padahal hadits itu shahih, karena hadits itu mansukh di sisinya dan beliau sendiri telah menjelaskannya.
(Al-Subki, Ma’na Qaul al-Imam al-Muthallabi “Idza Shahha al-Hadits Fa huwa Mazhabi”, Muassasah Qurthubah, Hal. 91-92)
Contoh lain hadits riwayat Muslim berbunyi :


الْوُضُوءُ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ
Artinya : berwudhu’ karena makan sesuatu yang disentuh api.
(HR. Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 272, No. Hadits : 351)
Hadits ini meskipun shahih, namun Imam Syafi’i tidak mengamalkannya, karena menurut pendapat beliau kandungan hadits ini mansukh.

Imam al-Nawawi
mengatakan :
“Jawaban dari hadits-hadits mereka (hadits-hadits wajib berwudhu’ dengan sebab makan sesuatu yang disentuh api), sesungguhnya hadits itu mansukh, seperti ini telah dijawab oleh Syafi’i dan ashabnya dan ulama-ulama lainnya.”
(Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. II, Hal. 68)

b.     
Kadang-kadang Imam Syafi’i meninggalkan mengamalkan zhahir dari hadits shahih karena hadits tersebut diposisikan kepada makna yang sesuai dengan maksud hadits lain. Misalnya Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang afdhal wudhu’ dilakukan tiga kali dengan mengikuti perbuatan Nabi SAW berdasarkan hadits Usman bin Affan berbunyi :


ان النبي صلعم توضأ ثلاثا ثلاثا
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW berwudhu’ tiga kali, tiga kali.
dengan memposisikan maksud hadits shahih dari Ibnu Abbas yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah berwudhu’ satu kali, satu kali dengan makna sebagai mubah saja, bukan suatu yang utama.
[
Imam Syafi’i, al-Um, Dar al-Wifa’, Juz. X, Hal. 42]
Dhahir hadits Ibnu Abbas yang telah beliau riwayat dalam kitab Ikhtilaf al-Hadits ini adalah melakukan wudhu’ satu kali, satu kali merupakan amalan yang utama, mengingat itu merupakan amalan Nabi SAW, namun beliau mengesampingkan dhahir hadits ini dengan memposisikannya hanya sebagai perbuatan yang mubah dilakukan, bukan yang utama dengan berdalil kepada hadits Usman bin Affan di atas. Hadits Ibnu Abbas dimaksud juga telah diriwayat oleh al-Bukhari, berbunyi :


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: تَوَضَّأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّةً مَرَّةً

Artinya : Dari Ibnu Abbas, beliau berkata : “Nabi SAW pernah berwudhu’ satu kali, satu kali
            (HR. Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 43, No. Hadits : 157)


c.    
Kadang-kadang Imam Syafi’i meninggalkan mengamalkan zhahir dari hadits shahih, karena menurut beliau ada hadits shahih lain yang lebih rajih dibandingkan hadits shahih pertama. Misalnya hadits dari Rafi’ bin Khadiij, Rasulullah SAW bersabda :


أَسْفِرُوا بِالفَجْرِ، فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلأَجْرِ
Artinya : Kerjakanlah shalat Subuh saat pagi sedikit terang, karena itu lebih besar pahalanya 
(Al-Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 223, No. Hadits : 154)
Sementara itu ada sebuah hadits shahih dari ‘Aisyah r.a. , beliau berkata :


كن النساء من المؤمنات يصلين مع النبي الصبح ثم ينصرفن وهن متلفعات بمروطهن ما يعرفهن احد من الغلس
Artinya : Kaum perempuan mukminin shalat Subuh bersama Nabi SAW, kemudian mereka pulang dengan menutupi diri mereka dengan jubah mereka. Tidak seorangpun mengenal mereka karena masih gelap.
(Al-Manawi, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 508, No. Hadits : 1024)

Dhahir hadits pertama bertentangan dengan hadits Aisyah, karena hadits pertama mengandung perintah shalat Subuh pada akhir waktu, sedangkan kandungan hadits Aisyah berisikan bahwa shalat Subuh lebih afdhal dilakukan pada awal waktu. Dalam mengomentari dua hadits ini,,,
Imam Syafi’i mengatakan :

“Seandainya hadits tersebut (hadits pertama) bertentangan dengan hadits Aisyah, maka kami dan anda wajib berpegang pada hadits Aisyah, bukan yang lain.”


Kemudian Imam Syafi’i menjelaskan bahwa alasan beliau lebih berpegang kepada hadits Aisyah, karena kandungan hadits Aisyah lebih mendekati dengan Kitabullah.
[Imam Syafi’i, al-Risalah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 284]
Dengan demikian, hadits Aisyah lebih rajih di sisi beliau. Namun beliau dalam penjelasan akhir mengenai kedua hadits di atas berpendapat bahwa kedua hadits ini tidak saling bertentangan, dengan jalan memaknai Asfiruu bil-fajr” dengan pengertian shalat Subuh pada saat fajar yang kedua sesudah nampak melintang (fajar saadiq)
[
Imam Syafi’i, al-Risalah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 290]

Namun berdasarkan uraian ini, dapat dipahami bahwa Imam Syafi’i bisa saja meninggalkan beramal dengan sebuah hadits shahih, apabila beliau berpendapat ada hadits shahih lain yang lebih rajih dibandingkan hadits pertama.

d.
     
Kadang-kadang Imam Syafi’i meninggalkan mengamalkan zhahir dari hadits shahih, karena hadits tersebut mutlaq yang diqaidkan dengan hadits lain. Misalnya hadits dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda :


وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الخَاطِبُ
Artinya : Jangan salah seorang dari kalian meminang pinangan saudaranya sehingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau mengizinkannya.
(HR. Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 15, No. Hadits : 5142)


Dhahir hadits ini dilarang meminang pinangan orang lain sehingga peminangnya meninggalkannya dengan mencakup keadaan dimana sang perempuan yang dilamar tersebut menolak atau tidak menolaknya. Namun Imam Syafi’i tidak mengamalkan mutlaq dari dhahir hadits tersebut dengan memposisikan larangan pada hadits tersebut apabila perempuan yang dilamar tidak menolaknya. Pemahaman beliau ini didasarkan pada hadits Fatimah binti Qiis berkata :


ان زوجها طَلَّقَهَا فَأَمَرَهَا رسول الله صلعم أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ ابن أُمِّ مكتوم وقَالَ إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي، قَالَتْ: فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ: أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ، وَأَبَا جَهْم خَطَبَانِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: أَمَّا أَبُو جَهْمٍ، فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ، لا مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، قَالَتْ: فَكَرِهْتُهُ،َ فقَالَ: انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، فَنَكَحْتُهُ، فَجَعَلَ اللَّهُ فِيه خَيْرًا، وَاغْتَبَطْتُ بِهِ
Artinya : Sesungguhnya suaminya mentalaqnya, maka Rasulullah SAW menyuruhnya ber’iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum. Beliau bersabda : “Kalau sudah halal, beritahu aku.” Ketika aku sudah halal, aku berkata kepada Rasulullah SAW : “Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm telah meminangku.” Lalu Rasulullah SAW bersabda : “Abu Jahm tidak pernah meletak tongkatnya dari pundaknya, sedangkan Mu’awiyah miskin tidak berharta. Karena itu, nikahilah dengan dengan Usamah bin Zaid.” Fatimah binti Qiis mengatakan : “Aku tidak menyukainya.” Kemudian Rasulullah SAW mengulangi lagi : “Nikahilah Usamah bin Zaid.” Akupun menikahi Usamah bin Zaid, Allah memberikan kebaikan kepadanya dan akupun bahagia bersamanya.
( Imam Syafi’i, al-Risalah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 309-310)


Dalam kisah yang tersebut dalam hadits ini, menurut pemahaman Imam Syafi’i, Rasulullah SAW melamar Fatimah binti Qiis untuk Usamah bin Zaid, karena beliau tahu bahwa Fatimah binti Qiis sudah menolak lamaran Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm. Karena itu, Imam Syafi’i memposisikan hadits larangan meminang pinangan orang lain di atas, selama pinangan tersebut tidak ditolak oleh perempuan yang dilamar.
(
Imam Syafi’i, al-Risalah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 310-311)

e.      
Imam Syafi’i juga bisa saja meninggalkan mengamalkan zhahir hadits shahih, karena faktor lain seperti hadits tersebut merupakan ‘am yang dikhususkan dengan maksud hadits lain yang sifatnya khusus.


Lalu bagaimana konteks perkataan Imam Syafi’i “Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku”


Dengan menyimak uraian-uraian di atas, maka dapat dipastikan, tidak boleh bagi seseorang umat Islam hanya dengan membaca sebuah hadits shahih, lalu dengans serta merta mengklaim kandungan hadits tersebut sebagai mazhab Syafi’i hanya dengan mendasarkan kepada perkataan Imam Syafi’i “Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku”, tetapi penisbatan kandungan hadits shahih tersebut kepada mazhab Syafi’i haruslah terlebih dahulu dengan melakukan kajian-kajian yang mendalam dan konverehensif dan ini tentunya yang mampu melakukannya hanyalah seorang mujtahid juga atau setidak-tidaknya orang tersebut mempunyai kemampuan mendekati kemampuan seorang mujtahid.
Tidak boleh dengan serta merta mengklaim kandungan hadits shahih sebagai mazhab Syafi’i hanya dengan mendasarkan kepada perkataan Imam Syafi’i “Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku” disebabkan seorang mujtahid, termasuk dalam hal ini Imam Syafi’i bisa saja mengesampingkan pengamalan sebuah makna dhahir dari sebuah hadits shahih karena ada dalil lain yang lebih rajih untuk diamalkan di sisinya sebagaimana contoh-contoh yang telah dikemukakan sebelum ini.
Mengomentari perkataan Imam Syafi’i di atas, dalam Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Imam al-Nawawi mengatakan :
“Perkataan Imam Syafi’i ini bukanlah maknanya bahwa setiap orang yang melihat hadits shahih dapat mengatakan “Ini mazhab Syafi’i”, lalu mengamalkan dhahirnya. Tetapi ini hanyalah diposisikan pada orang-orang mencapai martabat ijtihad dalam mazhab sesuai dengan sifat-sifatnya yang terdahulu atau mendekati martabat ijtihad. Persyaratannya adalah kuat dugaannya bahwa Syafi’i Rhm tidak pernah menemukan hadits ini atau tidak mengetahui sahnya. Hal ini hanya dapat terpenuhi sesudah meneliti semua kitab-kitab Syafi’i dan lainnya yaitu kitab-kitab pengikut-pengikutnya yang mengambil ilmu dari beliau dan kitab-kitab lainnya yang serupa dengan keduanya. Persyaratan ini merupakan persyaratan yang sukar dan sedikit orang-orang mempunyai sifat seperti ini. Para ulama mensyaratkan hal-hal yang telah kami sebutkan, karena Syafi’i Rhm banyak meninggalkan pengamalan hadits-hadits yang pernah beliau melihat dan mengetahuinya, namun ada ketetapan dalil di sisi beliau bahwa hadits tersebut tercela, di nasakhkan, dikhususkan, atau ditakwil ataupun lainnya.
  (Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal. 105)



Kesimpulan:
1.      Tidak boleh bagi seseorang umat Islam hanya dengan membaca sebuah hadits shahih, lalu dengan serta merta mengklaim kandungan hadits tersebut sebagai mazhab Syafi’i.
2.      Penisbatan kandungan sebuah hadits shahih kepada mazhab Syafi’i haruslah terlebih dahulu dengan melakukan kajian-kajian yang mendalam dan konverehensif dengan membaca semua kitab-kitab Syafi’i dan pengikut-pengikut beliau dan ini tentunya yang mampu melakukannya hanyalah seorang mujtahid juga atau setidak-tidaknya orang tersebut mempunyai kemampuan mendekati kemampuan seorang mujtahid, sehingga memunculkan dugaan yang kuat bahwa Imam Syafi’i tidak mengemukakan suatu pendapat sesuai dengan hadits shahih tersebut karena beliau tidak pernah menemukan hadits tersebut atau tidak mengetahui sahnya.
3.      Imam Syafi’i banyak meninggalkan pengamalan hadits-hadits yang pernah beliau jumpai dan mengetahuinya, namun ada ketetapan dalil di sisi beliau bahwa hadits tersebut tercela, di nasakhkan, dikhususkan, atau ditakwil ataupun lainnya