Kalimat paling ampuh utk mendapat simpati atau meyakinkan umat Islam adalah "kembali ke Quran Sunah" dan makin mantap bila ditambah sesuai pemahaman salaf...... ,kalimat itu benar adanya tapi salah penempatannya kalau quran & sunah Nabi ditafsir sendiri oleh orang awam...
kasus sepeti sangat sering terjadi dan makin masif di kalangan umat islam seperti kasus 'ahmad mushadek, Lia aminudin dll' yg dengan kata-kata manis sesuai quran sunah menyesatkan umat.
Kelompok seperti ini selain menimbulkan polemik tentang definisi bid’ah dan pembagian
tauhid, golongan mnyimpang memang dikenal dengan sifat plin-plan dan
kontradiksinya. Ini karena mereka seringkali tidak konsisten dalam
mengambil sumber hukum.
Salah satu contoh kelompok yang menamakan diri Salafy (wahabi) ,walaupun mereka selalu berkata bahwa mereka
mengambil dan mengikuti pemahaman manhaj salaf dalam masalah Aqidah dan
Syari’at. Karena pada faktanya ketika ada fatwa seorang sahabat yang
berbeda dengan “pemaham akal” seorang ulama wahabi, maka mereka
cenderung mengambil pendapatnya sendiri dengan ‘mencampakkan’ fatwa
sahabat tersebut, seperti pada kasus Ibn Baz dibawah ini. (beberapa
contoh kasus ini diambil dari beberapa dialog antar golongan wahabi yang
berbantahan dengan sebuah partai politik yang berideologi Islam di
Indonesia dan ini merupakan gambaran berikutnya bahwa wahabi tak pernah
harmonis dengan siapa pun atau golongan apa pun bahkan dengan
sekte-sekte salafy-nya sekalipun).
Seseorang pernah menyusun buku
tentang memelihara janggut. Didalamnya dia menyebutkan pendapat Abu
Hurairah, ibn Umar, maupun sahabat-sahabat lainnya tentang kebolehan
memotong sebagian janggut jika panjangnya melebihi satu genggam. Maka
Ibn Baz berkomentar : “Walaupun ini pendapat Abu Hurairah dan pendapat
Ibn Umar, hanya saja yang didahulukan adalah firman Allah SWT dan sabda
Rasulullah SAW” !! (Majalah Hidayatullah edisi 03XVIIJuli 2004; hal.
40-41).
Jika seperti itu kenyatannya, lalu mana slogan memahami
Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salaf Ash-Sholeh (Sahabat,
tabi’in dan Tabi’ut tabi’in) ?!
Golongan wahabi ini dengan berani
mengklaim’ bahwa ‘pemahaman Ibn Baz, Utsaimin, Albani dkk lebih baik
dari pendapat dan fatwa para sahabat yang mulia ini ! Dan menyatakan
bahwa mereka (para ulama salafi palsu) lebih mengetahui hadis Rasul SAW
dibandingkan para sahabat yang mulia ini, yang senantiasa menemani,
melihat dan mendengar perkataan, perbuatan, serta taqrir Rasul SAW !!
Lalu dengan beraninya, ia berkilah lagi bahwa hadis itu belum sampai
kepada Sahabat tersebut. Tapi malah sudah sampai pada Albani, Utsaimin,
Ibn Baz dkk ? Seakan-akan golongan wahabi menyatakan bahwa para ulama
salafi palsu ini mengklaim diri merekalah yang ‘lebih nyalaf’
dibandingkan para Salaf As-Sholeh itu sendiri !
Dan banyak lagi kasus
ulama wahabi yang lebih mengunggulkan pendapatnya sendiri, ketika pada
saat yang bersamaan terdapat pendapat dari Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut
Tabi’in yang berbeda dengan pendapat mereka. Sebagaimana contoh berikut :
“
Pada suatu pelajaran, Abdullah Ibn Baz pernah menyatakan bahwa
membolehkan pernikahan dengan ahlul kitab (nasrani) dengan persyaratan. Sebagian
mahasiswa yang mengikuti pelajaran itu berkata : “Wahai Syeikh,
sebagian Sahabat melarang hal itu !”. Beliau menoleh kepada Mahasiswa
itu, lalu berkata : “Apakah perkataan Sahabat menentang Al-Qur’an dan
As-Sunnah ? Tidak berlaku pendapat siapapun setelah firman Allah SWT dan
sabda Rasul-Nya“ (Majalah Hidayatullah edisi 03XVIIJuli 2004; hal.
40-41).
Lalu bagaimana bisa, golongan wahabi ini mengklaim mengambil
manhaj Salaf dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana
pemahaman sahabat, sementara pada saat yang bersamaan menolak dan
mencampakkan pendapat mereka ? Seraya melontarkan kata-kata keji yang
menodai kemulian para Sahabat ini yang telah ditetapkan dengan nash
Al-Qur’an dan Al-Hadis, dengan ucapan : “Hadis shahih ini belum sampai
pada mereka’, atau ‘apakah anda akan memilih pendapat sahabat atau hadis
Rasul SAW’ “!! Sehingga menurut orang-orang salafi palsu ini,
seakan-akan mereka para sahabat ini adalah orang awam yang tidak pernah
mendengar apalagi mendapat hadis dari Rasul SAW !
Cukuplah hadis
Rasulullah SAW untuk menghakimi perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan
mereka : “Jika anda melihat orang-orang yang mecela sahabatku, maka
katakanlah; Laknat Allah atas keburukanmu” (HR. AT-Tirmidzi) !!!
Lalu
bagaimana juga bisa dikatakan bahwa hasil pemahaman akal Ibn Baz,
Utsaimin, Albani dkk atas nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah selalu
mewakili pendapat dan pemahaman Salaf atau dikatakan sebagaimana
pemahaman para sahabat ?!, seperti yang dilakukan oleh Ibn Baz ketika ia
mengomentari banyak persolan yang diulas oleh seseorang dengan
menyebutkan , menurut madzhab ini begini dan menurut madzhab itu begitu.
Lalu dia berkomentar : “Bagi kami tidak berpendapat berdasarkan madzhab
ini dan madzhab itu. Kami berpendapat dengan firman Allah SWT dan sabda
rasul SAW “(Majalah Hidayatullah edisi 03XVIIJuli 2004; hal. 40-41).
Apakah
para wahabiyyun itu tidak mengetahui, dari mana para ulama ahlussunnah
ini mengambil pendapat madzhabnya ? Mereka mengambil pendapatnya dari
Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn Hambal dll ! Kitab
Al-Muwatho karya Imam Malik (sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Imam
Malik dalam muqadimah kitabnya) mendapat rekomendasi dari 70 ulama
Madinah yang merupakan anak keturunan dan murid sahabat atau tabi’in dan
tabiu’ tabi’in di Madinah. Lalu Fathur Rabani-nya – Imam Ahmad Ibn
Hambal yang berisi ribuan hadis nabi SAW, bahkan ketika beliau ditanya
apakah seorang yg hafal 100 ribu hadis boleh berijtihad sendiri, Imam
Ahmad menjawab : ‘Belum boleh’. Lalu beliau ditanya lagi : ‘apakah
seorang yg hafal 200 ribu hadis boleh berijtihad sendiri’ , Imam Ahmad
menjawab : ‘Belum boleh’. Ketika beliau ditanya kembali : ‘apakah
seorang yg hafal 400 ribu hadis boleh berijtihad sendiri’ , lalu Imam
Ahmad menjawab : ‘boleh’. Bahkan Imam Abu Hatim sampai menyatakan bahwa
mencintai Imam Ahmad adalah pengikut Sunnah. Abu Hatim berkata : “Jika
anda lihat seseorang mencintai Imam Ahmad ketahuilah ia adalah pengikut
Sunnah.” (As-Siyar A’lam An- Nubala’ 11/198).
Lalu apakah
tidak boleh seseorang yang mengambil pendapat Imam Malik (yang menjadi
pewaris madzhab Sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in); lalu Imam Ahmad (yang
hafal 400 ribu hadis), imam syafii yg menulis kitab Al-Umm, Ar-Risalah
(yang juga berisi ribuan hadis); dan Imam Abu Hanifah yg menulis kitab
Al-Mabsuth dll (yang berisi juga hadis-hadis dan fatwa Salaf Ash-Sholeh)
dan Ulama Mujtahid lainnya ?
Apakah ketika ada seseorang mengambil
salah satu pendapat Imam Asy-Syafii, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn
Hambal dll dikatakan sebagai Ahlut Taqlid, sedang ketika wahabiyyun
mengambil Albani, Ibn Baz, Utsaimin dll, disebut sebagai muttabi
(pengikut) Manhaj Salaf ?! Lalu adakah salah satu ulama wahabi yang
punya karya melebihi al-Muwatho Imam Malik, atau yg hafal hadis lebih
dari 400 ribu seperti Imam Ahmad, atau kitab fiqh sunnah seperti Al-Umm
atau Al-Mabsuth !!! Tidak ada !!! Lantas bagaimana kelompok sempalan ini
bisa mengatakan hal seperti itu ?!
Sungguh ucapan seperti itu
merupakan bentuk kekurang ajaran kepada para Ulama Mujtahid yg
dilontarkan dari generasi terakhir yang sama sekali tidak mencapai
barang secuil pun dari ilmu para Imam Mujtahid (yang sering sok tahu
dengan mengklaim paling berpegang dengan madzhab Salaf !!!), dan pada
saat bersamaan menuduh para ulama alussunnah yang mengambil pendapat
para Imam Mujtahid sabagai Ahlut Taqlid. Padahal sebenarnya Imam
Mujtahid inilah yang paling layak disebut sebagai pewaris madzhab Salaf
dalam Aqidah dan fiqh karena dekatnya mereka dengan masa Sahabat,
tabiin, dan tabiut tabiin dan banyak ahli ilmu pada masa itu !
Tidak
cukup sampai disini tatkala ada seseorang atau kelompok menukil atau
mengambil pendapat Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn
Hambal dll, yang berbeda dengan pemahaman seorang tokoh wahabi, maka
serta merta kelompok sempalan ini biasanya akan mengatakan : “tinggalkan
pendapat Syafi’i atau Hanafi, dan ambilah hadis shohih ini yang telah
ditakhrij oleh Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shohihah atau
Adh-Dhoifah !” . Lalu seakan-akan wahabi menuduh Imam Syafi’i, Maliki,
dan Hambali adalah ‘anak kemarin sore’ yang tidak tahu dalil, apalagi
hadis shohih dan dhoif, lalu untuk memperkuat argumentasinya biasanya
dinukil ucapan Para Imam Ini; spt Imam Syafi’i : “ Jika ada hadis
shohih, maka tinggalkan pendapatku” atau ucapan Imam Hanafi atau Maliki
yang serupa – (tentunya dengan pemahaman yang tidak pada mestinya dan
merasa ‘ke pe-de-an’) !
Padahal, sebenarnya para Imam ini tetap
berhujjah dengan Al-Qur’an dan Al-Hadis, dimana yang membuat pendapat
mereka berbeda bisa karena : perbedaan metode Ushul Fiqh untuk istimbath
(mengekstaksi hukum-hukum dari dalil-dali syara), atau mereka berbeda
dalam menghukumi apakah nash ini apakah sudah mansukh dan hukum yang
baru ditentukan dengan nash yang lain, atau mereka berbeda tentang
status keshahihan sebuah hadis atau sebab lain. Itu pun jika wahabiyyun
memang mau mencari Al-Haq dangan hujjah yang terkuat dan melepaskan ‘ruh
ta’asub’ !!
Disisi lain, ulama wahabiyyun ini juga kadang melakukan
penukilan ‘khianat’ dari para ulama tentang keharusan ‘mentahdzir’
(memberi hukuman) ahlul bid’ah yang tidak sesuai dan tidak pada
tempatnya atau cara pemahaman mereka yang tekstual, padahal para ulama
yang dinukil qaul-nya tadi, juga sebagian besar divonis sesat oleh ulama
wahabiyyun !!!
Imam Qurthubi, Imam Nawawi, AL-Hafidz Ibn Hajar, Imam
Al-Hakim dll divonis menyimpang aqidahnya karena mereka asy’ari, tapi
kitab mereka seperti tafsir al-qurthubi, Syarh shohih muslim,
al-mustadrak, fathul bari dan karya Ibn Hajar yang lain tentang
manakibur rijal al-hadis (biografi para perawi hadis), masih sering
dinukil bahkan tidak jarang digunakan unutk menjustifikasi ‘pendapat
mereka’ dan digunakan untuk ‘ menohok’ saudara sesama muslim. Apa itu
bukan asal comot namanya ?! Seharusnya, ketika mereka sudah memvonis
bahwa ulama tersebut berbeda aqidah dengan aqidah yang mereka peluk,
mereka sudah tidak berhak lagi menukil dari karya-karya mereka !!!
( tidak konsisten dan standard ganda seperti orang ‘bokek’, maka
sepertinya wajar saja ada yang menyebut golongan ini sebagai ‘madzhab
plin-plan’ )
Bahkan jika memang kelompok salafi palsu ini
berisi oleh ulama yang ‘pilih tanding’, buat saja tafsir yang selevel
dengan milik AL-Qurtubi atau Ibn Katsier; atau buat kitab Jarh Wa Ta’dil
atau Manakib Ar-rijal Al-hadis yang lebih baik dari karya Al-Hafidz Ibn
Hajar atau Al-Hafidz Ibn Asakir dll; atau buatlah kitab hadis yang jauh
lebih shohih dari Al-Mustadraknya Al-Hakim atau Kitab Shohihnya Ibnu
Hibban, Mu’jamnya Ibn Hajar Al-Asqolani. Itu pun kalau wahabi mampu !!
!
Lalu
siapakah Albani, Ibn Baz, Utsaimin dkk, jika dibandingkan dengan Imam
Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali ?! Padahal kepada mereka inilah
(yaitu Imam Syafi’i dkk) para ‘warasatul anbiya’ kita mengkaji dan
mengambil Al-Islam ini ! Ditambah lagi dengan mudahnya kelompok sempalan
ini menuduh para ulama pengikut Madzhab Imam Syafi’i, Maliki, Hambali,
Hanafi sebagai Ahlul bid’ah karena punya hasil ijtihad yang berbeda
dengan kelompok mereka dalam memahami nash-nash syara’ atau bahkan dicap
sesat bahkan disamakan dengan Mu’tazilah atau Jabariyah ketika mereka
punya penafsiran yang berbeda terutama dalam masalah aqidah (biasanya
dalam masalah Asma dan Sifat) .
Padahal pada hakikatnya yang lebih
pantas disebut sebagai penerus madzhab Salaf Ash-Sholeh adalah para Imam
ini, seperti Imam Syafi’i, Maliki, Hambali, Hanafi, Al-Auzai, Hasan
Al-Bashri dll dari para Mujtahid umat ini, karena dekatnya mereka dengan
masa para Salaf Ash-Shalih dan telah terbukti mereka punya metode ushul
fiqh; yang dengan metode itu mereka berijtihad dan melakukan istimbath
untuk menjawab problematika umat pada masanya, sehingga umat Islam
senantiasa terikat dengan hukum syara’ bukan dengan hukum yang lainnya !
Dan bukannya Albani, Utsaimin, dan Ibn Baz atau selain mereka, kecuali
mereka bisa menunjukkan metode Ushul Fiqh yang jauh lebih unggul dari
para Imam Mujtahid ini !!!
Klaim bahwa wahabiyyun mengikuti
pemahaman para sahabat itu terbukti kelemahannya, karena tidak ada satu
riwayatpun yang shahih – yang menceritakan kepada kita bahwa para
sahabat atau salah seorang diantara mereka membukukan metode mereka
dalam memahami nash-nash syara’ (metode Ushul Fiqh), kecuali sebagian
riwayat yang menjelaskan tentang fatwa sahabat dan tabi’in dalam
beberapa masalah seperti yang banyak dicantumkan oleh Imam Malik dalam
Kitabnya ‘Al-Muwatho’. Malah ternyata mereka hanya mengikuti pemahaman
Albani, Ibn Baz, Utsaimin dkk. Bukannya ini taqlid buta ?! Atau
‘memaksakan’ berijtihad sendiri ?!
Pertanyaannya adalah : dari mana
kelompok salafi palsu ini mengklaim mengetahui cara para sahabat, tabiin
dan tabiut tabiin ini memahami Al-Quran dan As-Sunnah, padahal mereka
(para Sahabat) tidak pernah membukukan metode tersebut ?!!
Jawabnya
mudah : baca kitab Ar-Risalah dan Al-Umm-nya Imam Asy-Syafi’i, karena
beliaulah yang pertama kali (menurut sebagian Ulama dan sejarawan Islam)
yang membukukan metode tersebut (yang kemudian dikenal dengan metode
Ushul Fiqh) !!! Yang selanjutnya digunakan ulama-ulama sesudahnya
sebagai patokan dan pedoman untuk memahami nash-nash syara dari Al-Kitab
dan As-Sunnah !!! Hal sama juga akan kita dapati jika kita mengkaji
kitab Fiqh Al-Akbar-nya Imam Abu Hanifah, Al-Muwatho-nya Imam Malik,
Fathur Rabani-nya Imam Ahmad Ibn Hambal dll ? Jadi, bukan atas fatwa
Albani, Ibn Baz dan Utsaimin !!! Dan ternyata para wahabiyyun banyak
terpengaruh kitab-kitab karangan ulama wahabi ini serta ulasan-ulasan
mereka mengenai kitab-kitab karangan para Imam madzhab sebagaimana
pemikirannya sendiri bahkan dengan kebusukan mereka memalsukan isi-isi
kitab klasik karangan para ulama salaf !!!
Lalu dari mana para Imam
ini merumuskan metode Ushul Fiqh, kalau tidak dari pendahulu mereka yang
mulia, mengingat masih dekatnya masa mereka dengan masa para Salaf
Ash-Sholeh tersebut (banyak yang mengatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan
Imam Malik masih termasuk Tabi’in dan tabi’ut tabi’in), dan banyaknya
Ahli Ilmu pada masa itu ?! Apalagi banyak riwayat yang menyebutkan bahwa
karya-karya mereka seperti Al-Umm, Ar-Risalah atau Fathur rabbani –
Musnad Imam Ahmad diakui oleh jumhur ulama pada masa itu. Bahkan
Al-Muwatho (sebagaimana dinyatakan oleh Imam Malik dalam muqadimah
kitabnya) mendapat rekomendasi dari 70 ulama Madinah yang merupakan anak
keturunan dan murid sahabat atau tabi’in dan tabiu’ tabi’in di Madinah.
Walhasil,
yang pantas disebut sebagai penerus Salaf Ash-Sholeh dan berjalan
diatas manhaj salaf serta mengerti pemahaman para sahabat adalah mereka
yang mengikuti metode Ushul Fiqh yang telah dirumuskan oleh Para Imam
Mujtahid ini, untuk menggali hukum dari nash-nash syara’ guna menjawab
problematika kontemporer umat saat ini, agar seperti pendahulunya mereka
senantiasa terikat dengan Syari’at Islam.
Lalu sekarang darimana
wahabiyyun bisa buktikan, bahwa metode yang mereka gunakan itu adalah
metode yang sama dengan yang digunakan para salaf ini ? Sedangkan
wahabiyyun tidak punya metode ushul fiqh baku yang di-ikuti dalam
berijtihad, apalagi membuktikan kalau metode itu berasal dari para Salaf
Ash-Sholeh ini !
Selanjutnya, tentang ulama-ulama wahabi yang diaku
sebagai Ulama Hadis, apakah memang benar realitanya seperti itu ? Semua
orang boleh melakukan klaim, tetapi semua itu harus dibuktikan terlebih
dahulu !!!
Coba perhatikan penjelasan Imam Sakhowi tentang siapa Ahli
Hadis (muhaddis) itu sebenarnya : “Menurut sebagian Imam hadis, orang
yang disebut dengan Ahli Hadis (Muhaddis) adalah orang yang pernah
menulis hadis, membaca, mendengar, dan menghafalkan, serta mengadakan
rihlah (perjalanan) keberbagai tempat untuk mendapatkan hadis, mampu
merumuskan beberapa aturan pokok (hadis), dan mengomentari cabang dari
Kitab Musnad, Illat, Tarikh yang kurang lebih mencapai 1000 buah
karangan”. Jika demikian (syarat-syarat ini terpenuhi) maka tidak
diingkari bahwa dirinya adalah ahli hadis.
Tetapi jika ia sudah
mengenakan jubah pada kepalanya, lalu berkumpul dengan para penguasa
pada masanya, atau menghalalkan perhiasan lu’lu dan marjan atau memakai
pakaian yang berlebihan (pakaian yang berwarna-warni), dan ia hanya
mempelajari hadis Al-Ifki wa Al-Butan, maka ia telah merusak harga
dirinya, bahkan ia tidak memahami apa yang dibicarakan kepadanya, baik
dari juz atau kitab asalnya. Ia tidak pantas dan jauh dari menyan dang
gelar seorang Muhaddis. Karena dengan kebodohannya ia telah memakan
sesuatu yang haram. Jika ia menghalalkannya maka ia telah keluar dari
Agama Islam (Lihat Fathu Al-Mughis li Al- Sakhowi, juz 1hal. 40-41).
Sehingga yang layak menyandang gelar ini adalah Muhaddis generasi awal
seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Nasa’i, Imam Ibn
Majah, Imam Daruquthni, Imam Al-Hakim Naisaburi ,Imam Ibn Hibban dll.
Apakah tidak terlalu berlebihan (atau bahkan termasuk ghuluw) dengan
menyamakan mereka (Imam Bukhari, Imam Muslim, imam Abu Dawud dkk) dengan
syeikh-syeikh wahabi yang tidak pernah menulis hadis, membaca,
mendengar, menghafal, meriwayatkan, melakukan perjalanan mencari hadis
atau bahkan memberikan kontribusi pada perkembangan Ilmu hadis yang
mencapai seribu karangan lebih ?
Sekarang kita tinggal tanya saja pada pengikut, simpatisan, dan korban doktrin wahabi ini;
apakah masih menganggap Albani sebagai muhaddits? Atau utsaimin telah keluar dari kontradiksinya tentang bid’ah?
Atau masih mengikuti ulama-ulama mereka yang selalu mengeluarkan fatwa-fatwa nyeleneh yang membuat kemarahan muslim sedunia ?
Atau hanyalah pentaqlid buta ulama wahabi yang berlindung dibalik ketiak raja saudi ?!
~ Smoga manfaat ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar